Friday 12 August 2011

Passport, Cambuk Keras dari Rhenald Kasali



Tulisan ini sebenarnya bukan diperoleh dari sumber media yg tertulis di bawah, hanya saja link sumber berita ini menuliskan sumber tersebut. Apalah artinya mediator berita, toh yang terpenting adalah isi artikel berita tersebut. Terlepas dari itu, bagi saya tulisan ini ternyata cukup detail membuktikan bahwa masih banyak diantara kita yang masih puas menjadi kura-kura di dalam tempurungnya masing-masing, itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa tulisan ini saya post di sini.


Setiap orang tahu bahwa perubahan selalu memerlukan proses dan modal, salah satu contoh sederhananya ya proses mendapatkan dan memanfaatkan passport itu. Sering kali kita lupa bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dalam banyak hal dari negeri-negeri lain di luar sana. Tetapi terkadang kita sebel juga menyaksikan perilaku bapak-ibu di gedung DPR sana jalan-jalan mengatasnamakan benchmarking atau studi banding ke luar negeri.

Tulisan ini sebenarnya bukan dibuat untuk menghalalkan "jalan-jalan" bapak-ibu tersebut, tulisan ini dibuat justru untuk mencambuk kita agar mampu berusaha dan melakukan benchmarking tersebut dengan modal kita sendiri, tanpa menjadi beban siapapun, termasuk rakyat Indonesia.


Semoga dengan membaca dan meresapi tulisan ini kita sudi melepaskan tempurung kita dan berlari lebih cepat untuk mengejar ketertinggalan kita dan bangsa kita. Perubahan hanya akan terjadi apabila ada yang memulai, dan perubahan akan membawa dampak signifikan apabila banyak dari kita mau dan mampu membuktikan perubahan tersebut. Lebih baik kita menjadi manusia yang mampu menyelesaikan suatu hal yang sulit, daripada kita harus menyerah pada perasaan sulit dan berhenti untuk melakukan perubahan.

"Semakin anda mngerti dunia di luar sana maka anda akan semakin mengerti seberapa jauh kita tertinggal, semoga anda juga semakin mengerti seberapa banyak yang bisa kita lakukan utk merubah itu......."

Passport - Jawapos 8 Agustus 2011

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa
berapa orang yang sudah memiliki passport. Tidak mengherankan,
ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya
berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam.
Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini
berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa
PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan
memberi tugas mengurus passport. Setiap mahasiswa harus memiliki
"surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa passport manusia akan
kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang
steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena
punya passport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa passport ini? Saya
katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak
boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam.
Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"

Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya
orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai
misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula
bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint.
Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan
tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan
juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak
pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus
batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen
yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di
almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan
sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang
terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala
para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai
kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan
super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau
kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku
melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja
Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal
seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian
keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa
lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang
malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang
Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar
yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil
resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka
jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia
menghampiri saya dengan menunjukkan passport-nya yang tertera stempel
imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus
peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus
cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah
perusahaan besar di luar negeri.

The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah
Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad
Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata
pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka
kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita
menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura
bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan
tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu
harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki passport.Maka bagi
saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya
melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari
Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong
memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah
mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya
kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah
kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan
infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya
ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka
matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di
universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki
passport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami
menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan
Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya
berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki
keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka
jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa
Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih
rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa
rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya passport itu
99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya
darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket,
menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan
mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya
ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso
sekalipun kini di passport-nya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri.
Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan
mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak
PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi
mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini
sudah pandai berbahasa asing.

Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata
memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri
mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang
pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk
visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya
memiliki passportPassport adalah tiket untuk melihat dunia, dan
berawal dari passport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi
pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca,
perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa.
Dan karena passport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di
Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau
Nazaruddin yang baru punya passport dari uang negara.

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

2 comments:

luxsman said...

long.long storiesssssss

Eko Prast. said...

story tp prlu djadikan inspirasi kang, boleh benchmarking asal ndak nyusahin orang, apalgi rakyat kcil.......:D