Friday 11 November 2011

Merah Putih Pahlawan, Dahulu, Sekarang, dan Esok


Setiap jiwa yang bermukim dan tumbuh besar di sebuah wilayah kepulauan Nusantara di bagian barat pasifik dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) insya Allah tahu atau bahkan beberapa di antaranya mungkin paham betul dengan apa yang terjadi pada 10 Nopember tahun 1945 di Surabaya.

Pic 1. Merah Putih Pahlawan, Dahulu, Sekarang, dan Esok (click to enlarge)

Kemarin tepatnya 66 tahun yang lalu, di berbagai sudut kota Surabaya dilancarkanlah serangan bertubi-tubi oleh tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ke kubu-kubu pertahanan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang berkedudukan di Surabaya. Darah dan peluh bersatu padu mengalir diantara semangat dan niat suci para pejuang TKR dan berbagai laskar untuk mempertahankan kedaulatan negara yang dicintainya, Republik Indonesia.

Kini, 66 tahun telah berlalu dan berbagai perubahan telah terjadi di dalam republik ini. Kini sudah tidak ada lagi tentara TKR dan laskar pejuang yang bertempur dan menumpahkan darah serta peluhnya untuk membela kedaulatan negaranya.

Kini semuanya telah berubah, kini pemuda dan pemudi yang dulu berjuang dengan berperang harus berjuang dengan membuahkan karya dan buah pikiran untuk membangun negerinya yang katanya sudah merdeka 66 tahun yang lalu.

Nyata-nya, betul sekarang sudah banyak perubahan, cara berjuang pun sudah berbeda, tapi sekarang pun kita sebenarnya masih juga terjajah dan tetap harus berjuang bahkan lebih keras dan cerdas untuk bisa benar-benar merdeka.

Suatu bukti nyata bahwa untuk mendapatkan batubara sebagai bahan bakar PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap) untuk menerangi rakyat NKRI saja PLN harus berjuang lebih keras dan cerdas meyakinkan berbagai pihak yang sebelumnya lebih suka untuk menjualnya keluar negeri.

Pic 2. PLTU Suralaya, terbesar se-Indonesia (click to enlarge)

Hal serupa juga terjadi dengan gas alam, bukan rahasia bahwa sebelumnya pemerintah lebih memilih ambil untung dengan menjual gas ke pulau Temasek dengan harga mahal daripada menjualnya ke PLN untuk menyuplai listrik bagi rakyatnya meski PLN mau membayar sesuai dengan harga keekonomian.

Namun dengan perjuangan dan kerja keras hambatan dapat dilalui, sejak 1 November 2011 pemerintah telah mematok izin untuk suplai gas senilai 9 US$ / mmbtu untuk PLTGU Muara Tawar sebesar 40 mmscfd dan juga menjual ke pulau Temasek sebesar 140 mmscfd seharga 17 US$ / mmbtu.


Fenomena tersebut hanyalah sebuah contoh perjuangan yang sampai sekarang pun harus selalu kita lakukan. Belum lagi berbagai perjuangan di bidang lain yang membutuhkan keseriusan yang lebih intens.

Bangsa ini terlalu banyak tertinggal dalam berbagai lini industri, dalam perdagangan pun rakyat Indonesia lebih dominan berlaku sebagai pelaku konsumen. Lihat saja membanjirnya berbagai produk elektronik asing, bahkan rakyat ini pasti banyak yang tidak tahu atau mungkin lupa bahwa di negeri ini masih ada produsen elektronik sederhana semisal televisi, rice cooker, dkk dengan harga yang cukup bersaing dengan produk asing.

Pic 4. Produk perkakas rumah tangga lokal, Maspion

Saya pernah iseng bertanya pada sepupu dan kerabat dekat, tidak satu pun dari mereka yang tahu bahwa Polytron adalah produk asli lokal. Tanpa bermaksud promosi, tulisan ini hanya membuktikan bahwa ternyata masih banyak rakyat yang berpikir bahwa "harga murah adalah segala-nya siapapun pembuatnya."

Pic 5. Produk ponsel lokal, Polytron

Masyarakat yang kritis dengan kualitas produk adalah masyarakat yang bagus, tapi tidak peduli dengan produk bangsa sendiri adalah bencana. Bahkan di instansi pemerintah pun baru beberapa tahun terakhir ini saja digalakkan program pemakaian produk dalam negeri, meskipun belum menyentuh produk sederhana semacam televisi, rice cooker, dkk.

China, India, dan berbagai negara maju lainnya mampu menjadi produsen unggul karena rakyat dan pemerintah mereka memiliki kesadaran untuk menggunakan produk mereka sendiri. Bayangkan saja, negara dengan bentuk kepulauan seluas NKRI ini garam saja masih impor, lelucon macam apa ini.

Sekarang bangsa ini memerlukan pahlawan yang mampu menyadarkan rakyat, pemerintah, dan segenap stakeholder bangsa ini untuk bangun dari tidurnya dan membangun bangsa ini jauh lebih keras dan cerdas. Tidak ada salahnya membangun budaya 100% cinta Indonesia seperti yang disosialisasikan oleh pemerintah, meski sosialisasi tersebut nyatanya tidak sempat booming.

Pic 6. 100% Cinta Indonesia (click to enlarge)

Tidaklah perlu berpikir terlalu muluk, segala perubahan dapat kita mulai dari diri kita sendiri, dari yang sederhana, dan dari sekarang. Dengan kesadaran tiap individu untuk berubah dan berjuang, insya Allah bangsa ini akan makmur dan sentosa seperti yang dulu dicita-citakan dalam UUD 1945.

Kelak ketika bangsa ini telah berubah menjadi bangsa yang bangun dan sadar dari tidurnya, hendaknya bangsa ini memerlukan pahlawan baru yang berjuang dengan cara yang baru pula. Pahlawan baru tersebut nantinya harus mampu menjaga kontinuitas berbagai perubahan positif yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya. Suatu perubahan yang tidak dijaga agar dilaksanakan secara kontinyu merupakan omong kosong belaka, itulah mengapa diperlukan penerus yang mampu menjaga perubahan yang telah dijadikan suatu standar. 

Mari kita berjuang dan menjadi pahlawan bagi diri kita masing-masing, mari kita hilangkan anggapan bahwa bangsa ini hanya besar jumlahnya saja, mari kita buktikan bahwa bangsa ini bukan bangsa pemalas, mari kita buktikan bahwa kita mampu mewujudkan rakyat yang hidup damai, adil, dan sejahtera. Goodluck Indonesia, keep fighting!!!. (ep87)

3 comments:

Tiva Fatimah Keizer said...

Paragraf terakhir sesuatu !!!

Eko Prast. said...

di paragraf terakhir ada apaan emg?

kinanthi said...

Suatu keberhasilan adalah rangkaian perubahan yang dijaga secara kontinyu, karena keberhasilan bukan ending dari kehidupan bangsa. Satu keberhasilan akan membawa kita pada tantangan berikutnya..